Sabtu, 18 Desember 2010

MENGGALANG ANGIN BERLABUH KE DARAT

Studi Kasus Masyarakat Bajo Yang Menjadi Korban Keputusan Pemerintah

A. Menengok “Masyarakat Terpencil” Versi Pemerintah

Indonesia merupakan Negara yang mempunyai luas lautan seluas 5,8 juta Km2, atau menyumbang sekitar 1,3 % luas perairan dunia. Dari laut yang seluas ini, kita diuntungkan sebagai Negara yang mempunyai 25% ikan dan 70% terumbu karang dari total spesias ikan dan terumbu karang di dunia.[1]

Kekayaan alam ini belum ditambah dengan beragamnya suku dan etnis yang mendiami wilayah Indonesia yang luas seluruhnya mencapai 1.919.440 Km2 [2]. Tercatat dari wilayah yang seluas itu kita memiliki jumlah suku bangsa yang jauh lebih banyak dari yang ada di dunia ini. Tercatat terdapat 1.128 suku bangsa[3].

Dari 1.128 suku bangsa itu, masih banyak yang hidup secara nomaden, dengan masih memanfaatkan hasil alam (baik dari rimba raya maupun dari lautan). Hidup mereka yang masih belum tersentuh modernitas membuat Negara cendrung mencatat mereka sebagai masyarakat terasing dan terpencil Hal ini bisa dilihat dari definisi yang dibuat Departemen Sosial pada tahun 1996, dimana yang disebut dengan Masyarakat terasing adalah sekelompok masyarakat yang memiliki kesamaan cirri-ciri fisik, sosial, dan budaya, serta mendiami suatu kawasan yang terpencil, terpencar, serta sulit dijangkau atau masih hidup berpindah-pindah (nomaden), ataupun yang hidup mengembara di kawasan laut dimana mereka biasanya suli dijangkau atau berpindah-pindah, ataupun yang hidup mengembara di kawasan laut, serta sulit mewujudkan interaksi sosial dengan masyarakat yang lebih maju[4].

Definisi diatas mampu memberitahukan kepada kita bagaimana pemerintah di masa itu tampak agak diskriminatif dalam membuat sebuah definisi tanpa mempertimbangkan segala aspek masyarakat, baik yang dikatakan sudah “modern”, maupun yang masih “terasing”. Masyarakat “Terasing” sendiri dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Kelana, Mereka yang tinggal berpindah-pindah. Hidup sangat sederhana dari berburu, menangkap ikan, atau meramu hasil hutan. Dipimpin oleh seorang ketua kelompok, mereka sangat curiga dengan orang luar. Jarang dari komunitas ini yang mau bergaul dengan orang luar. Contohnya adalah orang Baduy dalam.

2. Setengah Kelana, Mereka sedikit lebih maju, terbukti dengan dapat bercocok tanam dengan sistim tebang-bakar (slash and burn), suatu sistim pertanian yang berpindah-pindah. Setelah panen mereka akan membakar lahan itu dan pindah ke daerah lain.

3. Menetap Sementara, Mereka sudah sedikit lebih maju dari kategori setengah kelana, karena mereka telah dapat mempunyai rumah berupa gubuk-gubuk kayu dan mereka mau berdagang dengan masyarakat diluar lingkungannya di pasar[5].

Dari ketiga criteria diatas, kita bisa melihat bagaimana nantinya pemerintah akan mengambil kebijakan yang disama ratakan terhadap ketiga criteria diatas. Cobalah kita tengok bagaimana posisi pemerintah dalam membina kehidupan masyarakat yang dikatakan “terasing”, Terpencil”, maupun (maaf) masih belum “beradab”. Coba kita lihat saja bagaimana pemerintah membuat pemukiman-pemukiman tetap maupun sementara untuk “merumahkan” masyarakat terasing ini yang sebelumnya hidup dalam status pengembara. Ataukah mungkin peran pemerintah yang tampak dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2, yang isinya mengatakan Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan"[6].

Dari pasal diatas, dijelaskan bagaimana setiap warganegara berhak atas kehidupan yang dan pekerjaan yang layak sebagai seorang manusia. Tapi, formula yang sakt ini cendrung dijadikan obat dengan dosis yang sama terhadap setiap individu yang pastinya mempunyai pola kehidupan beragam. Cendrung kita memaksa suatu masyaakat untuk hidup ‘normal” seperti yang kita alami. Tapi, pernahkah kita menanyakan kepada kelompok masyarakat tersebut tentang gaya hidup mereka? Apakah mereka merasa nyaman dengan yang mereka lakukan? Pernahkah mereka merasa tersiksa dengan kehidupan yang harus mereka jalani saat ini?

Kita bisa melihat contoh bagaimana perlakuan pemerintah dan organisasi-organisasi yang punya tujuan memberdayakan suatu masyarakat. Kita perhatikan bagaimana etnis dayak yang terdapat di Kalimantan harus berjuang melawan waktu, bulldozer, traktor dan perkebunan kelapa sawit yang terus menerus masuk dan merusak hutan yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. Masyarakat Dayak yang terdapat di Kalimantan (yang masih hidup di hutan rimba) dipaksa untuk hidup sesuai anjuran pemerintah (hidup di tempat tinggal tetap, memeluk sebuah agama, ikut serta dalam institusi pendidikan, dan sebagainya). Akibatnya sungguh mengerikan, kita bisa melihat bagaimana masyarakat mDayak mulai kehilangan pegangan terhadap aturan adat serta mau tidak mau harus berurusan dengan birokrasi, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya[7] . Akhirnya, penduduk asli menjadi tenaga kerja yang dibayar murah, serta tidak sepenuhnya menikmati kue pembangunan seperti yang selama ini dijanjikan pemerintah.

Atau bagaimana di Papua, negeri yang menjadi incaran para pemodal baik dari tanah air, maupun dari luar negeri. Kita bisa melihat bagaiman di setiap jengkal tanahnya mengandung bahan-bahan tambang yang jumlahnya sangat banyak dan mampu menghidupi masyarakat papua sendiri. Tapi, setiap jengkal tanah tadi tetap saja dimiliki oleh masyarakat adat. Masyarakat adat (atau yang diidentifikasikan pemerintah sebagai “Masyarakat Terasing”) tadi harus berjuang demi eksisensi mereka di tanah leluhur yang sudah didiami dari satu generasi ke generasi lainnya. Contohlah bagaimana masyarakat Amungme yang terdapat di papua harus terus menerus menderita karena mereka tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dibangunnya PT. Freeport, yang menjadikan wilayah mereka sebagai tambang emas dan tembaga dengan cadangan kandungan dua bahan tambang tadi terbesar di dunia[8].

Peraturan pemerintah dalam memberdayakan suku-suku terasing di Indonesia membuat kita bisa mengetahui bagaimana nantinya masyarakat “terasing” ini nantinya akan mengalami shock culture dalam menerima nilai-nilai maupun kebijakan baru, diantaranya seperti pertentangan antara tetua adat dengan bupati, atau bagaimana kelanjutan hokum adat ditengah-tengah pemberlakuan hokum Negara Republik Indonesia.

B. Masyarakat Bajo: Antara Status Stateless dan Kewarganegaraan NKRI

Nun jauh di perairan Sulawesi sana, terdapat sekelompok masyarakat nomaden yang hidup dengan menghabiskan sebagian besar waktunya di atas air. MEreka merupakan bangsa pelaut ulung yang mampu berlayar menembus badai dan dapat mempergunakan rasi bintang, arah angin, arus laut, dan binatang-binatang yang ada di laut sebagai panduannya. Awalnya mereka hidup di atas perahu. Mereka mempunyai adat-istiadat yang sangat unik, pantang menginjak daratan kecuali bila mereka meninggal dunia (dalam beberapa kasusmereka juga bisa menghanyutkan mayat kelompok mereka di arus laut). Mereka dinamakan Suku Bajau (atau Bajo).

Kemungkinan besar mereka merupakan bangsa pelayar yang mampu berlayar ke seluruh wilayah perairan di Indonesia (bahkan ke luar negeri). Kita bisa melihat bagaimana di beberapa tempat di Indonesia terdapat beberapa tempat yang mempunyai nama-nama yang mengindikasikan tempat-tempat tersebut pernah didiami oleh suku Bajo. Diantaranya seperti Pulau Bojo (di kepulauan Batu, sebelah tenggara Nias) dan Tanjung Sibajau (ujung tenggara Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai), Desa Pantai di Labuhanbajau di pulau siimeulue, sebelah barat pantai Aceh, Labuhanbajo di Sulawesi Tengah (Teluk Tomini), dan Labuhanbajo di Manggarai (Flores Barat). Disamping itu, nama Bajo atau Bajau juga ditemukan sebagai nama tempat di Kepulauan Anambas, laut Cina Selatan (106˚ 18.7’ BT, 0˚ 07.7’ LU), di pantai timur Pulau Sumbawa (119˚ 02.9’ BT, 08˚ 34.4’ LS), di Teluk Bima (118˚ 40’ BT, 08˚ 30’ LS), di pantai timur Kalimantan (119˚ 02.9’ BT, 0˚ 56’ LU), dan lain-lain[9]. Dari data diatas kita bisa melihat bagaimana Orang Bajo merupakan bangsa penggembara yang selalu melakukan pelayaran dari satu perairan ke perairan lainnya. Bahkan, Orang Bajo sendiri percaya kalau mereka merupakan keturunan bangsa pengembara atau orang-orang laut dari , Filipina bagian selatan[10].

Orang Bajo dapat diidentifikasikan sebagai kelompok masyarakat yang cendrung pemalu dan tertutup dari masyarakat lainnya. Mereka biasa ditemukan dalam kondisi senang menyendiri, maksudnya bila mereka sedang menjala ikan bisa dipastikan mereka melakukannya sendiri, kalaupun ada orang lain di sana pastinya mereka sesame orang Bajo. Orang Bajo sangat dikenal sebagai orang yang sangat setia kawan, lugu, polos, bersahabat walaupun cendrung tertutup dan menjaga jarak.

Nama Bajao (atau Bajau) sendiri bukanlah nama yang berasal dari mereka sendiri untuk menyebut kelompok mereka, melainkan merupakan nama exonym (diberikan oleh orang di luar masyarakat tersebut) untuk menyebut kelompok mereka. PAdahal, orang Bajo sendiri lebih suka menyebut dirinya ‘Sama’[11]. Kata ‘Sama’ disini digunakan untuk sesama orang Bajo, maksudnya mereka itu sama.Ssedangkan untuk orang di luar mereka praktis menggunakan kata ‘Bagai’ untuk menyebutnya.[12]

Orang Bajo sangat tergantung pada lautan. KArena dalam dunia mereka dikatakan kalau Orang Bajo mempunyai saudara dan kakak yang berada di dasar laut[13]. Mereka sangat menghargai laut seperti saudara mereka. Tidak hanya itu saja, sejak kecil mereka diajarkan bagaimana hidup berdampingan dengan laut. Bahkan, bayi yang baru lahir dari rahim seorang ibu nantinya akan diusap-usapkan dengan air laut[14]. Sampai-sampai ari-ari si bayi tersebut nantinya dilarung ke laut.

Masyarakat Bajo tidak dapat lepas dari kehidupannya sebagai masyarakat nomaden yang hidup dan tinggal di atas air. Kadang mereka masih menggunakan perahu yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menjadi rumah mereka (Leppa) walaupun mereka sudah mulai membuat rumah semi permanen yang berdiri di atas laut. Dalam hal kepercayaan, mereka masih menganut Animism dan Dinamisme walaupun mereka sudah menganut agama Islam. Contoh lainnya, setiap sesaji pastinya akan mengarah pada jin atau setan dan para penguasa laut yang kasat mata. Dalam melaksanakan setiap acara, baik itu acara keagamaan, menikah, maupun acara inisiasi, mereka tetap dapat menyetukan antara kepercayaan tradisional dengan agama Islam. Dua bentuk kepercayaan ini dapat berjalan secara bersama-sama tanpa adanya tabrakan maupun senggolan antar masing-masing penganut.

Karena keberadaan mereka yang cendrung berubah-ubah, dimana mereka sering kali berpergian dari satu perairan ke perairan lainnya membuat pemerintah menggolongkan mereka sebagai masyarakat terasing yang masih harus “dimasyarakatkan” atau “diperadabkan”. Walaupun mereka sendiri sudah merasa beradab dan nyaman dengan budaya yang mereka jalani, tetap saja orang-orang di pemerintahan memandang mereka sebagai orang yang belum modern. Akhirnya diluncurkan program-program pemerintah yang agak tidak masuk akal, dan sering kali tanpa penelitian yang cukup mendalam tentang kondisi masyarakat di daerah tersebut. Contohnya bisa kita lihat bagaimana Pemerintah member dana yang cukup besar agar orang Bajo mau menetap di suatu tempat di daratan. Walaupun hal ini dirasa agak konyol.

Anggap saja anda sedang mempunyai bayi yangs edang lucu-lucunya. BAgaimana tanggapan anda bila bayi yang anda miliki sudah diarahkan untuk memainkan sebuah peran tertentu, disuruh bersekolah dan setelah itu harus langsung bekerja? Seperti itulah kondisi masyarakat Bajo sekarang. Mereka sama dengan bayi yang baru lahir, dimana mereka masih terasa asing dengan setiap kebijakan-kebijakan pemerintah yang cendrung berlawanan dengan hokum adat ang mereka paham.

Adanya ketidaksambungan antara satu pihak dengan pihak yang lain mampu membuat perbedaan yang sangat besar dalam kehidupan seseorang. Masyarakat Bajo tentu saja tidak akan pernah bisa meninggalkan kehidupan mereka yang sudah sedemikian eratnya dengan laut untuk menuju ke daratan. Sedangkan kita tahu di atas tadi bagaimana masyarakat Bajo sangat mensakralkan laut sebagai sebuah tempat suci dimana di tempat tersebut merupakan tanah kelahiran mereka.

Akhirnya, tetap saja mendaratkan masyarakat Bajo sama artinya dengan memusnahkan segala kebudayaan masyarakat Bajo yang sudah tertanam sedemikian rupa dalam benak mereka. Walaupun masyarakat Bajo sendiri pada akhirnya (terpaksa menerima keputusan pemerintah untuk tinggal menetap, mereka tetap saja membangun pemukiman di atas air, bukan di daratan seperti yang dibayangkan Pemerintah, sehingga mereka belum mendarat ke daratan, tetapi baru merepat ke daratan.

Dari penjelasan diatas kita bisa mengetahui bagaimana pemerintah sebenarnya cukup asingterhadap hal-hal yang berada di luar keadaan yang biasa mereka alami. Kita bisa mengetahui bagaimana sebagian besar orang-orang pemerintahan lebih memilih kerja di belakang meja sambil ongkang-angking kaki, sedangkan akibatnya, mereka tidak paham dengan keadaan dan kejadian di bawah sana. Mereka bahkan bisa menganggap sesuatu itu aneh bila diluar konsep pemikiran yang ada dalam otak mereka.

Conthonya, bagaimana bisa mereka memaksa sebuah komunitas untuk pindah dari tmpatyang sudah mereka diami selama berabad-abad dari satu generasi ke generasi lainnya. Mereka sama sekali tidak berpikir bagaimana tindakan emreka nantinya malah membawa benih-benih pertentangan. Bahkan dapat membawa benih-benih perselisihan antara masyarakat dengan pemerintah.Apa yang dapat terjadi pada pemerintah? Pastinya mereka tidak akan pernah diikuti dan diakui opleh sekelompok masyarakat yang memang sebelumnya tidak tahu menahu tentang keberadaan mereka tapi tiba-tiba dengan kekuasaan ang besar berani memindahkan mereka dari satu tempat ke tempat lainnya. Keudayaan dan eksistensi mereka sebagai sebuah suku bangsa sangat dipertaruhkan. Bayangkan apa yang terjadi bila masyarakat tersebut tidak mau lagi menjalankan tradisi mereka, otomatis mereka bisa dianggap “punah” secara budaya, walaupun dalam wujud fisik mereka masih hidup bahkan terus beranak pinak dari satu generasi ke generasi lainnya.

C. Memaksa Berlabuh: Ancaman dan Posisi Baru Masyarakat Bajo

Beruntunglah Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang terbesar di dunia dan keanekaragaman suku, etnis dan budaya yang mampu menjadikan kita sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragaman budaya. Hanya saja, pemerintah tampaknya masih belum bisa mentolerir perbedaan dan keanekaragaman yang membuat kita kaya. DI masa Orde Baru, semua orang harus turut dan ikut serta dalam pembangunan. Semua yang melawan sama dengan ekstrimis dan komunis. Kebijakan yang dilakukan pemerintah tetap saja hanya menguntungkan penguasa pusat, dan yang “kecipratan” untung tetap saja orang-orang terdekat penguasa.

Pemerintah dengan tanggap melakukanpembenahan terhadap masyarakat “terasing” yang selama ini diasosiasikan sebagai masyarakat primitive yang hidup dari hasil alam (entah itu berburu dan meramu, pertanian skala kecil, melaut). Hal ini tentu saja (kalau boleh dikatakan) sangat menyakitkan hati penduduk yang selama ini dianggap “terasing”. Definisi yang diberikan pemerintah mau tidak mau menjadikan mereka dikenal sebagai manusia yang belum beradab. Sebutan ini tentu saja sama dengan apa yang dikatakan oleh Belanda saat pertama kali menginjakkan kakinya di Nusantara, dimana mereka masih menganggap kalau orang-orang di Nusantara merupakan ras yang sedikit lebih tinggi dari kera, dimana mereka masih senang terhadap hal-hal yang bersifat khayal, mistis dan tidak dapat dijelaskan dengan nalar[15].

Bisa dipastikan bagaimana pemerintah Indonesia tetap nyaman menggunakan definisi yang selama ini hanya digunakan oleh penjajah untuk menggambarkan betapa rendahnya kita di mata mereka. Secara tidak langsung, kita menjadi orientalis[16] di negeri sendiri. Dengan kata lain, tidak mengherankan bila kita tetap saja menjadi bangsa yang terjajah secara pola pikir.

Kembali ke masalah kebijakan pemerintah, mau tidak mau pemerintah harus berjuang ekstra untuk “memperadabkan” mereka yang masuk golongan “terasing”. Contohnya dengan memasukan mereka ke dalam sebuah institusi yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan (sekolah), menempatkan mereka dalam sebuah lokasi tertentu, memaksa mereka untuk beralih profesi, seperti dari yang awalnya merupakan masyarakat berburu dan meramu menjadi masyarakat agraris atau dari yang awalnya masyarakat nomaden yang hidup dengan hasil laut (atau bisa disebut sebagai Orang Laut) harus hidup di daratan.

Persis seperti yang dialami oleh Orang Bajo di Sulawesi, mereka harus hidup di daratan dan (mungkin) akan tinggal selamanya di sana, sesuatu yang mereka tabukan selama ini. Tetapi, Masyarakat Bajo tampaknya jauh lebih menjunjung apa yang sudah menjadi pedoman hidup mereka untuk tetap tinggal di atas air, sehingga mereka tetap berada di atas air (hidup merapat di bibir pantai dan membangun rumah di atas karang), dan hanya mendekat dengan daratan. Transportasi yang mereka andalkan tetap saja perahu. Masyarakat Bajo sendiri sebenarnya juga masih ada yang tetap tinggal di atas perahu (biasa disebut Leppa), dan biasanya yang tinggal di sana adalah orang-orang tua. Umumnya mereka yang tinggal di dalam Leppa lebih senang berbicara menggunakan bahasa Bajo, dan mereka cukup takut dengan orang asing[17].

Dari hasil penelitian Gusti Saat dan Mostafa Kamal Mokhtar yang ditulis di Jurnal Poelitik, mereka mengemukakan fase-fase yang dialami oleh Masyarakat Bajo yang ada di Indonesia juga dialami oleh masyarakat Bajo yang ada di Asia Tenggara, diantaranya[18]:

Fase

Tahap dan sifat transformasi sosial

Di Laut

Berpindah-pindah dalam bot dari satu tempat ke tempat lainnya di sekitar kawasan kepulauan, hasil laut sumber utama ekonomi.

Laut-Nelayan

Menetap di sebuah tempat tepi pantai atau sungai, sebagai nelayan, hasil laut sumber utama ekonomi.

Tanah-Pertanian

Menetap di sebuah kawasan darat atau tepi pantai atau sungai, tetapi sebagai petani.

Urban

Menetap di sebuah kawasan darat atau tepi pantai atau sungai, atau kawasan urban, pekerjaan bergaji atau berniaga sumber utama ekonomi.

Sumber: Jurnal Poelitik Volume 4?No. 2/2008 Hal. 403

Pemerintah akhirnya turun tangan. Berbekal rasa tanggung jawab untuk menyejahterakan warganya dengan patokan UUD 1945 pasal 27 ayat 2, pemerintah melalui Departemen Sosial mulai melakukan pembinaan terhadap masyarakat “terasing” ini. Dampak dari kebijakan pemerintah sendiri dapat dilihat di buku karangan FRANÇOIS ROBERT ZAKOT yang berjudul ORANG BAJO, SUKU PENGEMBARA LAUT, PENGALAMAN SEORANG ANTROPOLOG. antara lain:

1. Masyarakat Bajo akhirnya diharuskan tinggal di Daratan, walaupun Masyarakat Bajo tetap tinggal di atas laut, hanya saja sudah menetap (dengan membangun rumah di atas karang) dan sedikit merapat ke daratan. Perahu yang pernah menjadi tempat tinggal mereka tidak dapat dilepas begitu saja dalam kehidupan mereka, Perahu tadi tetap digunakan sebagai sarana transportasi dan diikat di bawah tiang-tiang rumah. Sedangkan untuk masyarakat Bajo yang sudah tinggal di darat, contohnya di Pulau Kera, Sulawesi, perahu tetap digunakan atau ditaruh di dekat rumah, sebagai pengingat kalau mereka merupakan bangsa yang lahir dan besar di laut.

2. Munculnya struktur baru dalam masyarakat Bajo, yaitu munculnya Kepala Desa yang dipilih oleh pemerintah dan Imam yang mengurusi bagian keagamaan (Islam). Selama ini Masyarakat Bajo selalu berpegang teguh pada Pemimpin adat yang berasal dari golongan Bangsawan. Tetapi setelah munculnya Kepala Desa dan Imam, maka munculah beberapa pembagian kerja. Apapun yang menyangkut adat tidak boleh diikut campuri oleh Kepala Desa dan Imam, begitu juga sebaliknya. Hanya ada satu hal yang bisa diurus oleh ketiganya, yaitu kekerasan terhadap perempuan.

3. Munculnya institusi pendidikan di Masyarakat Bajo, sekolah. Anak-anak diharuskan untuk menempuh jenjang pendidikan. Sayangnya, kebanyakan yang bersekolah adalah anak-anak perempuan, dikarenakan anak laki-laki lebih menyukai kegiatan yang lebih mereka kuasai ( melaut, memancing, dan lain sebagainya) daripada bersekolah meskipun sekolahnya pun sangat sederhana. Hal ini juga menjadi masalah tersendiri, karena dalam sebuah institusi pendidikan, bahasa pengantarnya adalah Bahasa Indonesia, sedangkan bahasa yang telah menjadi bahasa ibu Orang Bajo adalah Bahasa Bajo, sehingga dalam kegiatan belajar mengajarpun terdapat beberapa kesulitan dan kesalah pahaman.

4. Dalam masyarakat Bajo, yang sebelumnya hidup berdasarkan kegiatan melaut tentu saja menghadapi kesukaran saat mereka harus mengalami kegiatan jual-beli terhadap pedagang dari desa-desa disekitar mereka. Tentu saja karena hidup mereka berdasarkan ketidak pastian aka nada atau tidaknya makanan pada hari itu menyebabkan mereka cendrung menghabiskan makanan yang mereka dapat pada hari itu dan saat itu juga. Hal ini mengindikasikan bagaimana pola kehidupan mereka sebagai bangsa nomaden masih tetap hidup walaupun mereka sudah “beradab”.

5. Masyarakat Bajo akhirnya berkenalan dengan modernitas dan teknologi. Hal yang cukup unik (dan menggelikan) adalah bagaimana kesukaan mereka mendengarkan radio kaset dengan menyetelnya dengan suara keras, sehingga tidak hanya satu rumah saja yang dapat mendengar lagu tersebut. Lihatlah bagaimana mereka sangat menyukai lagu-lagu keroncong. Biasanya para muda-mudi yang sedang berjalan-jalan (menaiki perahu) di saat petang tidak akan lupa membawa radio kaset ini, dan tentu saja hal ini akan menaikan pamor si laki-laki terhadap gadis pujaannya.

6. Beras, yang merupakan makanan pokok orang Indonesia ternyata juga menjadi makanan pokok bagi orang Bajo.

7. Masyarakat akhirnya harus mengikuti Pemilihan Umum (PEMILU) yang bila sudah waktunya, si Kepala Desa akan dengan semangat berteriak-teriak dan memberkan instruksi kepada masyarakat lewat pengeras suara. Kepala Desa tadi umumnya merupakan sebuah simpatisan partai politik.

8. Dalam melakukan perkawinan, biasanya selain dengan menggunakan cara adat, juga menggunakan cara agama. Hal ini mungkin masih dirasa sebagai hal yang wajar. Hanya saja akan tidak wajar bila unsur-unsur perkawinan modern ala barat ikut dimasukkan dalam acara tadi, dimana pengantin perempuan memakai gaun putih, lengkap dengan riasan dan buket bunga tiruan, dan pengantin prianya menggunakan jas yang lengkap dengan dasi dan (lucunya) kacamata hitam, seperti resepsi pernikahan yang dilakukan oleh orang barat (tanpa kaca mata hitam tentunya).

D. Kesimpulan

Memang harus kita ketahui dan kita sadari kalau masih ada beberapa kelompok masyarakat yang masih hidup berkelompok dan masih memegang kuat adat istiadat setempat dengan pola hidup yang amat sangat sederhana. Harus diakui, semua itu bukanlah sesuatu yang memalukan bagi Negara kita, tapi merupakan sesuatu yang membanggakan bagi masyarakat.kita, dimana hal ini membuktikan kepada dunia bagaimana Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan keanekaragaman yang belum tentu dimiliki oleh Negara lain.

Pemerintah harusnya melakukan perannya dalam memberdayakan masyarakat ini tanpa harus memaksa mereka meninggalkan pola kehidupan yang sudah menjadi pegangan mereka seumur hidup. Bayangkan apa yang terjadi pada suatu masyarakat bila mereka ternyata harus kehilangan setiap budaya yang mereka miliki, bisa jadi mereka akan menjadi masyarakat yang a historis dimana mereka tidak tahu akan masa lalu mereka. Tentu saja mereka harus mau melakukan komunikasi terhadap masyarakat tadi sehingga tidak akan ada pertentangan diantara masyarakat tadi dengan pemerintah. Bila pemerintah saja tidak mau melakukan dialog dan kerja sama, bisa dipastikan besok atau lusa akan terjadi pertentangan dan dendam diantara masyarakat terhadap pemerintah. Kita harus ingat, yang namanya bara dalam sekam dapat menyebabkan api juga di masa yang akan dating.

Adanya perubahan dalam kehidupan Masyarakat Bajo dalam menerima nlai-nilai modern tentu saja menimbulkan banyak sekali nilai baru yang muncul untuk mengakomodasi hal-hal baru yang masuk. Dan kita akan merasa lucu saat sesuatu yang pastinya tidak cocok dalam Masyarakat Bajo tiba-tiba hadir dan dipakai di dalam masyarakat tersebut.Kita tahu kalau pemaksaan struktur baru dalam suatu masyarakat akan menyebabkan kebimbangan dan ketimpangan. Apakah hal ini mampu disiasati dan dijadikan tantangan oleh pemerintah? Mungkin kita masih harus bersabar untuk beberapa saat lagi.



[1] http://www.balurannationalpark.web.id/download/Konservasi-Deliniasi%20Coral%20Bama-2009.pdf

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_luas_wilayah

[3] http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455

[4] Masri Singarimbun, Masyarakat Terasing, artikel pada Majalah Berita Mingguan GATRA dalam rubik KOLOM tertanggal 13 Januari 1996 (No.9/II ).

[5] JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 1999,DAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP MASYARAKAT TERASING; (Adaptasi Masyarakat Terasing terhadap Pembangunan), Oleh : Sandy Dharmakusuma, STIE Stikubank Semarang

[6] http://id-jurnal.blogspot.com/2008/04/dampak-pembangunan-terhadap-masyarakat.html

[7] Martua T. Sirait, Masyarakat Adat dan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat, Indonesia (Cordaid, Mei 2009) hal 7

[8] http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/572

[9] A. B. Lapian, ORANG LAUT, BAJAK LAUT, RAJA LAUT, Komunitas Bambu, Jakarta, 2008

[10] ROBERT ZAKOT, FRANÇois, ORANG BAJO, SUKU PENGEMBARA LAUT, PENGALAMAN SEORANG ANTROPOLOG, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2008.

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Dr. Francis Gouda, Dutch Culture Overseas,Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, Yogyakarta, Jakarta, Serambi, 2009

[16] Orientalisme adalah ilmu yang dipakai oleh Barat untuk mempelajari budaya, ahasa, kondisi geografis dan apapun yang terjadi di belahan Timur dunia dengan tetap menggunakan cara pandang mereka sebagai orang Barat. Orientalis adalah orang yang yang mempelajarinya.

[17] ROBERT ZAKOT, FRANÇOIS, ORANG BAJO, SUKU PENGEMBARA LAUT, PENGALAMAN SEORANG ANTROPOLOG, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2008. Hal. 130

[18] Gusni Saat & Mostafa Kamal Mochtar, URBANISASI DAN PEMBANGUNAN KOMUNITI PERIBUMI SUKU BAJO DI TELUK BONE, SULAWESI SELATAN, INDONESIA, Jurnal Poelitik Volume 4/No.2?2008 hal. 403



Diambil dari tugas kuliah yang punya Blog, hehehehe....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar