Minggu, 26 Desember 2010

H. M. MISBACH HAJI MERAH DARI SOLO


“Jangan takut, takutlah akan Allah karena tidak ada yang berarti kecuali perintah Allah, dan jadilah manusia, jangan kehilangan kemanusiaan”-H. M. Misbach, Medan Moeslimin

Namanya hampir tidak dikenal dalam buku sejarah (apalai buku pelajaran sejarah) Indonesia karena presiden kedua kita cukup takut dengan bayaing-bayang ideologi ”kiri” yang bisa mengancam kedudukannya selama 32 tahun memerintah. Sosoknya yang khas pada masa itu (berpakaian khas Jawa dan tetap memakai blangkon meskipun sebagai seorang yang bergelar Haji) serta kritikan tajam dengan ideology “kiri” yang dipropagandakannya disetiap rapat besar partai untuk memutus rantai kolonialisme dan kapitalisme dalam setiap artikel yang ditulisnya mampu membuat pemerintah koloial Belanda kebakaran jenggot sampai akhirnya Belanda membuangnya ke Manokwari dan meninggal akibat malaria.

Ia adalah H. M. Misbach, seorang haji revolusioner dari Solo yang banyak menulis artikel tentang Islam-Komunis di surat kabar yang dipimpinnya, Medan Moeslimin. Salah satu ucapannya yang melegenda, “Orang yang mengaku dirinya Islam, tetapi tidak setuju adanya komunisme, saya berani mengatakan ia bukan Islam yang sejati” membuktikan bagaimana agama dan komunisme dapat disatukan dan bisa menjadi kekuatan untuk melawan penindasan.

Terlahir dalam keluarga pedagang batik yang sukses dan hidup dalam lingkungan pejabat keagamaan Keraton pada tahun 1876 di Kauman, Surakarta serta sempat menggeluti bidang usaha batik (bahkan sampai sukses) tidak membuat terseret dalam kutub kelas menengah dan mematikan semangat revolusionernya.. Hal ini dibuktikan dengan ditinggalkannya usaha batik yang sedang sukses-suksesnya demi menggeluti dunia intelektual dan semangat revolusionernya. Pilihannya jatuh pada Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo tahun 1914 dan kemudian Sarekat Islam. Dalam perjumpaannya dengan H. M. Misbach, Mas Marco Kartodikromo sangat terkesan dengan sikap dan pembawaannya, seperti yang tertulis dalam tulisannya yang berjudul Korban Pergerakan Rajat: H. M. Misbach:

Di pemandangan Misbach, tidak ada beda diantara seorang pentjoeri biasa dengan seorang jang dikata berpangkat, begitoe djoega diantara rebana dan klenengan, diantara bok hadji yang bertoetoep moeka dan orang perempoean jang mendjadi koepe malem; diantara orang-orang jang bersorban tjara Arab dan berkain kepala tjara dijawa. Dari sebab itoe dia lebih gemar memakai kain kepala dari pada memakai petjis Toerki ataoe bersorban seperti pakaian kebanjakan orang jang diseboet “Hadji”……Dari sebab itoe dimana-mana golongan rajat, Misbach mempoenyai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannja orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingken mengoempoelkan harta benda dari pada menoeloeng kesoesahan rajat, Misbach seperti harimau di dalem kalangannja binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menjela kelakoeannja orang-orang jang sama mengakoe Islam, tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama (Kartodikromo, 1924:6).

Dari cuplikan kalimat Mas Marco diatas bisa kita tebak bagaimana H. M. Misbach bukanlah seorang yang mengaku dirinya muslim tapi menghisap darah dari sesamanya, tetapi dia adalah seorang muslim yang taat akan perintah agama dan tidak menafsirkan setiap ayat dari Al-Qur’an demi kepentingan dirinya sendiri. Dari surat kabar bentukannya yang bernama Medan Mueslimin (1915) dan surat kabar yang dipeloporinya Islam Bergerak (1917), mampu menjadi salah satu corong utama utama yang menentang tindak kolonialisme Belanda. Dan pada tahun 1918-1920 H. M. Misbach menjadi tokoh pergerakan Insulinde yang berpengaruh.

Pada tahun 1920-an, bersama dengan kaum tani di Klaten, mereka mengadakan demo pemogokan-pemogokan di wilayah Klaten. Pemogokan terbesar terjadi di Ngelungge, dank arena keterlibatanya Belanda menahan dann menyeretnya ke pengadilan. Setelah bebas dari penjara Pekalongan pada tanggal 22 Agustus 1922. Bertepatan dengan keluarnya dari penjara, berakhir juga zaman pemogokan, serta dimulainya zaman pergerakan melalui partai, Pada saat itu, dia keluar dari Muhammadiyah karena dirinya menilai Muhammadiyah tidak terlibat dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Hal ini juga dipengaruhi oleh pertentangan antara H. O. S. Tjokroaminoto dengan dirinya tentang pengertian Kapitalisme.

Tjokroaminoto menganggap kalau kapitalisme yang harus dilawan adalah kapitalisme jahat yang merupakan kaum Belanda dan pedagang non-muslim, sedangkan kapitalisme baik adalah para pedagang Islam yang notabenenya merupakan anggota Serikat Islam (SI), selain itu Tjokroaminoto lebih mewakili golongan elite pedagang muslim pribumi (yang kita tahu merupakan golongan menengah pada masa itu).

Hal ini jelas tidak dapat diterima oleh Semaoen dan H. M. Misbach yang menganggap Kapitalisme tidak ada baik atau jahat, karena Kapitalisme merupakan system yang hanya meraup keuntungan sebanyak mungkin sehingga menimbulkan adanya sentralisasi ekonomi, dan dari sentralisasi ini dapat terwujud imperialism yang akhirnya mendorong Negara (atau pedagang) untuk menguasai daerah-daerah yang kaya akan bahan baku dan memasarkan barang buatan mereka, sedangkan keuntungan dari penjualan tersebut tidak seluruhnya dibagikan kepada para pekerja. Akibat dari Kapitalisme sendiri sungguh mengerikan. Perampokan, korupsi, pembunuhan, dan (bahkan) pelacuran bias terjadi dimana-mana karena sempitnya lapangan pekerjaan sehingga masyarakat harus melakukan apa saja demi mengisi perut mereka.

Keluar dari Muammadiyah membuat dirinya memilih Serikat Islam Merah (SI Merah yang nantinya menjadi cikal bakal PKI). Disana dia menjada seorang ahli propaganda yang tangguh dan berpengaruh. Dipilihnya SI Merah dikarenakan kritiknya terhadap anggota dan pimpinan Serikat Islam Putih (SI Putih) yang menggunakan Islam sebagai alat untuk memperkaya dirinya sendiri (seperti dalam artikelnya yang berjudul Moekmin dan Moenafik” dalam Islam Bergerak , 10 November 1922) juga dirinya berpendapat kalau organisasi-organisasi Islam pada masa itu tidak dapat membawa aspirasi dan membawa keadilan bagi rakyat jelata.

Selain itu, dalam tulisannya “Islam dan Komoenisme, edisi XI Medan Moeslimin dirinya menulis tentang bagaimana kepedulian Karl Marx terhadap kaum miskin:

Waktoe toewan Karl Marx memegang pimpinan Journalis, beliaoe memerhatikan betoel-betoel akan nasibnya ra’jat, beliaoe ketarik sekali pada adanja soeal-soeal tentang Economic dan doedoekanja kaoem miskin; dari itoe toewan Karl Marx dapat tahoe dengan terang pokok ataoe soember-soember jang menimboelkan kekaloetan doenia. Sebab ataoe soember kekaloetan itoe, yaitoe doenia kemiskinan disebabkan adanja kapitalisme djalan ilmoe mentjahari kahoetoengan bersama hanja menjadi milikja (kepoeanjaannja) sedikit orang. (Misbach,1925:4)

Menurut Misbach, kemiskinan iu disebabkan adanya penghisapan oleh kapitalisme. Mesin penggerak kapitalisme-atau “spirit kapital” dalam istilah Misbach-adalah ketamakan. Dizaman kapitalisme, ketamakan ini, spirit kapital, berbentuk uan, Kapitalisme menggunakan berbagai “soelapanja” untuk “mengikat” orang. Akan tetapi, kuncinya adalah uang karena kebanyakan orang “tjinta boeta” dengan uang dan kemudian “moeka jang diboetakan oleh mata oewang”. Dari uang muncul godaan dan ketamakan akan uang yang dapat menghancurkan manusia. (Nor Hiqmah,2008:39). Dan dari dua alas an diatas, Misbach menganggap PKI dapat menjadi lokomotif perjuangan kaum rakyat jelata.

Julukan Muslim-Komunis pun melekat pada dirinya. Dalam setiap pidato yang dibawakan oleh dirinya, dikritiknya kaum elite dagang Islam yang menutup mata terhadap kesusahan rakyat pribumi yang masih saudaranya, ditentangnya para kaum penumpuk modal yang membuat kondisi social ekonomi rakyat jelata begitu mengerikan, serta bersama Semaoen, mereka tanpa takut menghardik setan-setan Kapitalis dan Kolonialis (Belanda-red). Tak ayal, partai ini menjadi semakin besar sehingga memaksa Algemeene Recherchedienst (Dubas Intelejen Umum) dibawah pimpinan Gubernur Jendral Dirk Fock mengirim banyak intel disetiap rapat besar partai atau pidato-pidato yang dibawakan mereka.

Sayag, pergerakan Misbach sebagai seorang tokoh kunci PKI harus berakhir. Tanggal 20 Oktober 1923, H. M. Misbach ditahan karena dituduh sebagai dalang dari penyebaran pamphlet bergambar palu arit dan tengkorak, perusakan, pembalikan kereta api, pembakaran bangsal sekatenan, dan pengeboman di Mangkunegaran. Penguasa Belanda terlalu bebal sehingga menganggap dalang dari kegiatan ini adalah ulah dari Misbach sendiri.

Dari hasil penyelidikan, barulah diketahui kalau dari semua aksi tersebut adalah Hardjosumarto yang juga membiayai para saksi palsu untuk memberatkan posisi Misbach di mata hukum. Padahal, Hardjosumarto tak lain dan tak bukan adalah orang yang “ditangkap” bersama Misbach. Meskipun begitu, Pemerintah Kolonial tetap memaksa penahanan agar Misbach dapat dibungkam dengan cara mengasingkannya di tanah yang asing dan jauh dari kontak manusia, Manokwari, Papua. Selama pengasingan sementara di Semarang, Misbach tidak diperbolehkan dijenguk oleh siapapun dan hanya diperbolehkan membaca Al-Qur’an. Dalam pengasingan ini dia bertahan dan sikap revolusionernya tidak mampu ditundukkan oleh Belanda sekalipun. Akhirnya hari pembuangan itu tiba, Di rimba Manokwari dia diasingkan bersama istri dan tiga orang anaknya.

Di Manokwari pun dirinya masih bisa berkarya. Tercatat ada 7 artikel yang dia tulis selama pengasingan, diantaranya”Djawa-Manokwari Baik di Ketahui” (Medan Moeslimin 331-332 ,10/1924), “Hal Yang Kejadian di Manokwari” (Medan Moeslimin 333, 9 1924), “Islam dan Kommoenisme”(Medan Moeslimin 3-7, 34-35, 50-53, 69-71, 81-83, 2/1925), “Manokwari Bergontjang, Reactie Oentoek Communist Tentoe dan Soedah Bijasa” (Medan Moeslimin 156-159, 2/1925), “Soerat Terboeka” (Medan Moeslimin 256, 2/1925), “Foja-foja: Sikapnja Wakil Pemerintah Manokwari” (Medan Moeslimin 271-272, 2/1925), serta “Nasehat” (Medan Moeslimin 145-148, 12/1926).

Namun, di tempat pembuangan Istri tercintanya, meninggal dunia akibat malaria. Sebelum Istrinya meninggal, H. M. Misbah sempat meminta kepada Belanda agar tempat pembuangannya dipindah ke Eropa. Usulan tersebut diterima oleh Parlemen Belanda dengan syarat dirinya mau membiayai perjalanannya sendiri. Setelah mendapat kabar tersebut, langsung dia meminta tolong kepada Haroen Rasjid, redaktur Medan Moeslimin untuk mencarikannya dana sebagai bekal perjalanan.

Sayang Tuhan berkehendak lain, belum sempat melaksanakan tujuannya, dirinya harus takluk dengan penyakit yang juga telah menaklukan istrinya. Malaria. Akhirnya dia pergi untuk selamanya pada tanggal 24 Mei 1924 dengan meninggalkan tiga anaknya yang masih kecil-kecil, Masdoeki, Karoebet, dan Soimatoen. Mereka bertiga kembali ke Solo tanggal 26 Juni1924 dalam keadaan yatim piatu.

H. M. Misbach merupakan seorang muslim sejati yang tidak hanya melaksanakan perintah Tuhan seperti yang tertera di Al-Quran, tapi juga mampu menyatukan ideologi Komunisme dengan agama, sesuatu yang (mungkin) tidak akan terjadi di zaman sekarang. Pengasingan di rimba yang berbahaya tak mampu menyurutkan semangat revolusioner dan bahkan dirinya masih bias menulis kritikan tajam dan nasehat bagi para pengikutnya untuk terus melawan kapitalis dan kolonialis Belanda serta kaum Munafik yang mengku dirinya muslim tapi tidak mau membantu rakyat yang kesusahan..

Sumber Utama dan gambar:

  1. Hiqmah, Nor. H. M. MISBACH KISAH HAJI MERAH: Komunitas Bambu, 2008
  2. Soedjono, Imam. Yang Berlawan; Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI: Resist Book, 2006
  3. Haji Misbach: Muslim Komunis, www.indomarxis.net, 3 Februari 2004
Artikel ini diterbitkan dalam koran kampus mahasiswa Univ. Sanata Dharma, NHN (Natas Hot News) edisi Mahasiswa Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar