Senin, 18 April 2011

Asap Dupa Dalam Lingkungan Keraton Riwayat Tan Djing Sing Dalam Kraton Ngayogyakarta Hardiningrat

Abstrak

Selama ini kita selalu menganggap orang-orang Tionghoa tidak mempunyai kemauan untuk terjun dalam dunia politik. Hal ini cukup beralasan dimana kita tahu pada masa Belanda yang berkuasa, mereka akan mengabdi kepada Belanda. Sedangkan pada zaman Jepang yang menjadi tuan, mereka akan mengabdi kepada Indonesia. Ketidak loyalan mereka terhadap sebuah organisasi atau patron membuat banyak orang meregukan loyalitas mereka. Padahal kita harus mengerti bagaimana mereka terpaksa dibuat menjadi komunitas perantara diantara dua komunitas besar (Kolonian/Belanda dan Pribumi) yang teentunya mereka akan member loyalitas mereka kepada siapa yang dapat menjamin keamanan mereka. Hal inilah yang menyebabkan rang Tionghoa bagai memakan buah simalakama, dimana bila mereka ikut politik disangka membela pihak tertentu, bila mereka menolak ikut politik disangka kaum yang hanya berkutat pada masalah perdagangan saja, dan bila mereka ikut gerakan politik, disangka mereka ingin menjilat demi keamanan kedudukan. Padahal, kita tahu kalau sejak kerajaan sampai reformasi (kecuali Orde Baru) masih kita dapati beberapa orang Tionghoa yang ikut aktif dalam gerakan-gerakan politik pada masa tersebut. Contohnya seperti Tan Djing Sing, seorang pribumi pertama yang mendapat posisi strategis dalam keraton Ngayogyakarto Hardiningrat.

Pendahuluan

Tionghoa merupakan sebutan lain dari suku bangsa Cina yang ada di Indonesia. Nama ini mereka ambil dari dialek Hokkien dari kata [中華], yang berarti Bangsa Tengah; dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua[1]. Mengapa mereka mengambil kata ini? Karena kata tersebut digunakan untuk mengganti kata “Cina” yang mengandung konotasi negatif yang selama ini dipakai untuk menamai suku bangsa mereka. Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Cina dengan mendirikan Republik Cina (中華民國, Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Cina ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Cina (中華人民共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.[2]

Kedatangan bangsa Tionghoa di Indonesia sampai saat ini masih simpang siur. Dalam sebuah tulisan tercatat bahwa orang-orang Tionghoa telah hadir pada masa Dinasti Han atau sekitar tahun 131 SM[3]. Disebutkan pula dari sumber lain pada masa Kerajaan Airlangga, telah terdapat pemukiman orang-orang TIonghoa di sekitarTuban, Gresik, Jepara, Lasem dan Banten. Pada masa ini komunitas orang-orang Tionghoa diterima baik oleh penduduk pribumi[4]. Ternyata, walaupun mereka sama-sama bermata sipit, berkulit kuning dan makan dengan menggunakan sumpit, orang-orang Tionghoa juga terdapat berbagai macam suku bangsa. Umumnya terdapat beberapa suku yang ikut bermigrasi ke daerah luar (Taiwan, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Myanmar, Brunei, kamboja, Indonesia, dll). Mereka diantaranya yang banyak dating ke Jawa adalah Hokkian, Hakka, Tio Ciu, KwangFu (Cantonis), Hokjia, Henghua, Hainan, dan lainnya[5].

Umumnya mereka datang sendiri-sendiri. Tetapi, karena makin seringnya pergulatan pilitik di dataran Cina, dan timbulnya keinginan melihat daerah luar sambil memperbaiki kehidupan mereka, timbulah niat untuk merantau. Awalnya mereka dating sendiri-sendiri dengan bekal seadanya (bahkan ada yang hanya berbekal baju di tubuh). Awalnya yang pergi merantau adalah kaum laki-laki. Saat di negeri rantau, mereka bekerja sebagai buruh tamang, buruh tani, pedagang perantara, dan lainnya. Karena mereka dating seorang diri, mereka pun menikahi perempuan pribumi. Hasil perkawinan mereka inilah yang nantinya akan disebut kaum “peranakan”. Setelah sekian lama akhirnya kaum perempuan pun ikut serta dalam merantau, tercatat mereka mulai merantau pada akhir abad ke XIX dan awal abad ke XX[6]. Mereka biasanya ikut serta dengan suaminya atau dengan keluarga besarnya, atau bisa juga dating sendiri. Saat sampai di tanah rantau, mereka (baik laki-laki dan perempuan yang datang bersama keluarga) disebut sebagai “totok”. Mereka yang disebut totok biasanya masih merupakan keturunan pertama sebelum orang tuanya menikah dengan penduduk pribumi. Masih menjalankan adat istiadat dari daerah asal mereka, dan masih menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa sehari-hari.

Menetap di Nusantara

Keinginan yang kuat untuk pergi dan merantau serta memperbaiki kehidupan membuat banyak orang-orang Tionghoa yang berimigrasi ke daerah lain. Mereka rela menyebrangi lautan demi mendapat kehidupan yang layak, keinginan melihat daerah luar, dan tertarik akan cerita orang luar tentang negeri di luar Cina. Hal ini bisa dimaklumi karena pada masa Dinasti Tang, kota-kota pesisirtenggara Cina menjadi kota pelabuhan yang ramai[7]. Karena itulah mereka mulai merantau ke daerah Indo-cina (Vietnam, Kamboja, Myanmar), Thailand, Indonesia, Malaysia, Brunei, Vietnam, dll.

Sampai di daerah perantauan, nasib tidak membawa mereka langsung menjadi orang sukses. Banyak yang dating sampai ke Indoesia hanya berbekal seadanya bahkan hanya baju yang melekat di tubuh. Kedatangan mereka pada awalnya hanya menjadi buruh tambang (seperti di Bangka, Martapura, dll), petani, pedagang perantara, dan lain-lain. Karena ketekunan dan kerja keras mereka untuk memperbaiki hidup membuat mereka mampu bertahan dan menjadi sukses. Hal ini tentu saja tidak dapat diabaikan dari kehidupan keras di daerah asal mereka yang telah mendidik mental serta kepribadian mereka.

Dari berbagai suku bangsa Tionghoa yang merantau ke Indonesia, kita bisa melihat bagaimana kepribadian mereka dan wilayah persebaran mereka.

Tabel

Suku Bangsa Tionghoa dan Persebarannya di Indonesia

Suku Bangsa

Asal

Kepribadian dan Ciri Umum

Wilayah Penyebaran

Hokkian

Provinsi Fukien bagian selatan, merupakan daerah penting dalam perdagangan

Umumnya mempunyai sifat ulet dan rajin apalagi dalam hal berdagang, sehingga mereka memegang sebagian perdagangan di Indonesia

Sumatera Utara, Riau ( Pekanbaru Selat panjang, Bagansiapiapi,danBengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin,Kutai,Sumbawa, Manggarai,Kupang,Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.

Hakka/Khe

Provinsi Shanxi, wilayah Kwangtung bagian selatan

Orang Hakka adalah yang paling miskin diantara perantau tionghoa lainnya.

Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa,Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.

Kwong Fu/ Kanton

Provinsi Provinsi Shanxi, wilayah Kwangtung bagian barat

Mereka pandai membuat makanan, terutama yang mengandung unsur daging. Selain itu mereka ahli dalam bidang kerajinan kayu dan juru gambar atau juru foto.

Sama seperti Hakka

Tio Ciu

Pantai selatan Cina, daerah pedalaman Swatow, bagian timur provinsi Kwangtung

Orang-orang Tio Ciu pandai bertani dan memasak makanan. Pada zaman Belanda mereka diberdayakan sebagai kuli tambang dan pekerja pertanian di luar Jawa.

Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).

Hok Jia

Sama seperti Hakka

Mereka bermata pencaharian sebagai pedagang sepeda dan suku cadangnya

Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).

Waijiang

Di wilayah sekitar Fukien

Mereka adalah suku minoritas, pekerjaan mereka biasanya adalah penjahit tukang percetakan, dan pengrajin kulit.

Sepertinya mereka tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Suku Hainan

Tinggal di pulau Hainan yang dekat dengan Zhanjiang

Sepertinya sama dengan suku yang lain, dimana mereka berbakat menjadi pedagang atau pengusaha.

Pekanbaru, Batam, dan Manado

Sumber: Diktet kuliah Cina Perantauan di Indonesia karangan Chandra Halim bab III halaman 1-2 dan http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tionghoa-Indonesia

Namun, pada masa modern seperti sekarang ini, orang-orang Tionghoa yang awalnya menolak perkawinanantar suku menjadi memperbolehkan diadakannya perkawinan antar suku. Selain itu, tiap-tiap suku yang pada awalnya mempunyai peraturan keras mengenai hubungan antar suku sekarang mulai menipis karena factor-faktor ekonomi. Hal ini bisa terjadi seperti suku Hakka yang pada awalnya merupakan suku paling miskin ternyata beberapa anggotanya bisa menjadi seorang terpandang di lingkungannya. Contohnya bisa kita lihat bagaimana Tjong A Fie, seorang bankir, pengusaha, dan kapitan yang berhasil membangun bisnis dengan 10.000 anak buah dimana kerajaan bisnisnya tidak saja menyangkut bank dan perkebunan, tapi juga pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, pertambangan dan perusahaan kereta api[8]. Dimana dia selalu menyisihkan 5 persen dari kekayaannya untuk pegawainya dan bahkan saat dia meninggalpun dirinya masih menuliskan wasiat supaya harta kekayaannya digunakan untuk membiayai masyarakat yang membutuhkan. Dan hebatnya lagi, dirinya bahkan menyumbang pembangunan tempat ibadah seperti Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok serta ikut merayakan hari-hari besar keagamaan bersama mereka

Peranakan dan Hubungan Sosialnya Dengan Pribumi

Setelah etnis Tionghoa berhasil melakukan akulturasi dan asimilasi budaya dengan penduduk lokal, kita bisa memastikan kalau keturunan mereka sudah dapat dikatakan “peranakan”. Pengertian peranakan tadi bisa kita lihat pada bagian atas tadi dimana yang disebut peranakan adalah keturunan pertama atau kedua pribumi dimana si ayah telah melakukan pernikahan dengan penduduk pribumi.

Percaya atau tidak, hubungan antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi sudah berjalan dengan sangat baik dan dapat hidup berdampngan dengan harmonis. Contohnya pada awal abad XIX Abdullah al-Misri (penulis Arab asal Mesir) menulis kalau orang Jawa bangga mempunyai menantu seorang Tionghoa[9].

Belum lagi keuletan dan kejujuran mereka mampu membawa orang-orang Pribumi untuk mempercayai mereka dalam hal perdagangan dan lainnya. Contohnya seperti Tjong A Fie diatas. Tak jarang, selain dalam hubungan perdagangan, hubungan politik pun dapat dengan mudah didapat antara seorang Tionghoa dengan penguasa daerah. Sebut saja bagaimana Tjong A Fie mampu menarik hati Sultan Deli, Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Muda, dan para pembesar Belanda lainnya sehingga dirinya mampu dikenal oleh kalangan luas dan diangkat menjadi pemimpin orang-orang Tionghoa di sana, mulai dari pangkat Letnan Tionghoa, sampai menjadi Kapitan[10]. Atau kita bisa melihat bagaimana Yap Thiam Hien, seorang pejuang HAM dari Indonesia yang mengkritik pergantian nama orang-orang Tionghoa pada masa Orde Baru dimana mereka orang-orang Tionghoa dipaksa mengganti nama mereka untuk membuktikan kecintaan mereka kepada republic ini[11]

Selain itu, kita bisa melihat bagaimana Tan Djing Sing, seorang tokoh Tionghoa yang namanya begitu harum di Yogyakarta karena dialah seorang Tionghoa yang pertama kali menjadi bagian dari kraton Ngayogyakarta Hardiningrat dengan nama K. R. T. Setjadiningrat.

Tan Djing Sing Atau K. R. T. Setjadiningrat?

Pada tahun 1800an, keadaan politik di Jawa sangat tegang, karena pada masa inilah Kekuatan Inggris dan Belanda mulai unjuk gigi di Nusantara. Banyak sekali perlawanan menentang kolonialisme dan penjajahan. Inggris pun mulai mengadakan kunjungan-kunjungan ke Jawa. Belanda yang mulai menghadapi perlawanan antara pihak Nusantara juga masih harus melawan Belgia yang ingin memisahkan diri. Belum lagi Perang Jawa (Java Oorlog) yang mampu membuat kas keuangan Belanda menipis.

Di dalam Keraton sendiri juga banyak terdapat intrik istana yang bertujuan untuk menggulingkan suatu pemerintahan raja. Contohnya dalam pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II, terjadi perselisihan siapakah yang berhak menjadi raja, setelah orang-orang tidak puas dengan pengangkatan itu. Masih banyak yang menginginkan putra mahkota (Sultan Raja) menjadi Sultan di Jawa. Inggris melihat hal ini sebagai kesempatan untuk menggulingkan pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan anaknya Sultan Raja yang sebent lagi akan memimpin kerajaaan ini.Tan Jing Sing memihak Sultan Raja. Bahkan Tan Jing Sing juga menyumbangkan dana, amunisi, candu, tempat berteduh dan makanan dalam juml;ah yang agak banyak demi kelancaran gerakan itu,

Selain itu, Inggris juga ikut membantu dengan mengirimkan tentara mereka (kebanyakan merupakan orang-orang India yang biasa disebut tentara Gurkha atau Sepoy) untuk ikut ambil bagian dalam menyerang kekuasaan raja. Maka, meletuslah peristiwa yang dikenal oleh rakyat Yogyakarta sebagai “Geger Sepehi”[12]. Akhirnya, gerakan penggulingan Sri Sultan Hamengku Buwono II berhasil dilakukan. Putra mahkotanya yang bernama Sultan Raja berhasil menaiki takhta dan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono III. Sebagai rasa terimakasih, pihak ibu suri dari Hamengku Buwono III menyerahkannya jabatan sebagai bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Setjadiningrat dan mendapat tanah warisan sebanyak 1000 cacah[13].

Penutup

Akhirnya, kita harus mengakui kalau orang-orang Tionghoa ternyata pernah menjadi seorang abdi dalem dalam sebuah kerajaan yang akan memainkan peran besar dalam terbentukny republic ini di tahu 1800an. Diawali oleh Tan Djing Sing, orang-orang Tionghoa mempunyai suatu kebanggaan dimana mereka mempunyai seorang tokoh yang mampu menjadi pemimpin mereka, bahkan mampu membawa seseorang menuju tampuk kekuasaan.

Dari pengalaman ini terbuktilah bagaimana seorang Tionghoa ternyata mampu menjadi seorang pegawai kerajaan dengan posisi yang tidak main-main, sebagai seorang bupati dan sebagai seorang perantara antara pihak keraton dengan pihak asing (Inggris dan Belanda). Hendaklah dalam pengalaman ini kita belajar kalau merekapun juga mempunyai kemampuan yang sama dalam memimpin sebuah institusi seperti halnya dengan kita.

Disusun oleh:

Nama: Rechardus Deaz Prabowo

NIM: 094314002

Prodi: Ilmu Sejarah



[1] Tionghoa, Wikipedia, diakses pada tanggal 18 Oktober 2010, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa,

[2] Idem.

[3] Chandra Halim, Diktat Kuliah “Sejarah Tionghoa Perantauan di Indonesia”, Yogyakarta, Bagian I hal. 1

[4] Benny G. Setiono,Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, Elkasa, hal. 14

[5] Chandra Halim, Diktat Kuliah “Sejarah Tionghoa Perantauan di Indonesia”, Yogyakarta, Bagian III hal. 1

[6] Benny G. Setiono,Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, Elkasa, hal. 45

[7]Tionghoa Indonesia, Wikipedia, diakses pada tanggal 18 Oktober 2010, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tionghoa#Peran_Warga_Tionghoa_Bagi_Republik_Indonesia

[8] Tjong A Fie, Wikipedia, diakses pada tanggal 18 Oktober 2010, http://id.wikipedia.org/wiki/Tjong_A_Fie

[9] Didi Kwartanada, tertulis dalam makalahnya yang berjudul “Beberapa Catatan Mengenai Penelitian Etnis Tionghoa Abad XIX-XX”, yang dibawakan saat seminar sejarah 2010 di UGM hari Jum’at, 30 April 2010.

[10] Tjong A Fie, Wikipedia, dikutip pada tanggal 18 Oktober 2010, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tjong_A_Fie

[11] Yap Thiam Hien, Wikipedia, dikutip pada tanggal 18 Oktober 2010, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Yap_Thiam_Hien

[12] Lurahing Pacino, Sutirman Eka Ardhana (SEA), diakses pada tanggal 19 Oktober 2010, http://ekardhana.blogspot.com/2010/02/lurahing-pacino.html

[13] Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, Jakarta, Komunitas Bambu, 2008, hal. 60.