Selasa, 18 Oktober 2011

Setelah lama tidak bersua.......

Akhirnya kembali lagi, setelah sekian lama tidak menengok blog ini. Heran, yang punya blog ternyata malas untuk membersihkan, merawat dan mengisi kembali blog ini dengan kata-kata baru. Bisa dilihat kalau dipojokan blog ada sarang laba-labanya (haah?).
wkwkwkwkwk.....
Oke kawan-kawan, kita kembali lagi dalam blog aneh ini. Setelah sekian lama blog ini menjadi penanda eksistensi diri seorang insan manusia di dalam jaringan internet, blog ini mulai kembali ditinggalkan. Kenapa? Apakah yang punya blog sedang malas? Kehabisan ide? Mulai banyak sekali kerjaan d kampusnya? Atau malah sudah punya pacar dan akhirnya memilih untuk menjalin sebuah hubungan yang cukup manis dan akrab? (sepertinya opsi terakhir boleh dibuang, hahaha ^^)
Pada perjalanan hidupnya, yang punya blog ini, seorang lelaki nanggung dan belum dewasa yang bernama Deaz mulai belajar untuk membuka diri terhadap dunia disekitarnya. Anggapan bahwa patut untuk membuka sebuah buku dan membacanya sebelum mengomentari isi buku itu ternyata benar. Hanya saja, selama ini, jika dianalogikan diri saya adalah buku, maka saya adalah sebuah buku yang kumal, kusam, berdebu, terletak di rak paling bawah dan rupanya tidak bisa dibedakan antara buku dan keset. Tetapi, setelah sekian lama berusaha untuk menjadi seorang yang percaya diri, buku letek ini akhirnya mau membuka diri dan membiarkan orang lain membacanya.
Dan akhirnya, hahahaha.....setelah sekian lama, si pembuat Blog sukses menjadi orang aneh yang lepas kendali dan berbakat menjadi orang gila profesional. Dengan rekor yang sangat istimewa (2 minggu berturut-turut tidak mandi, pernah selama seminggu hanya makan 7 kali, membiarkan komputer menyala dan mempergunakannya selama 3 hari non stop). Oke, saya tahu ini tidak normal.
Baiklah, sekian dulu tulisan agak ngawur dan jauh dari tujuan awal pembuatan blog ini. Mudah-mudahan yang punya jadi lebih rajin dan tidak males-malesan lagi membuat blognya. Sampai jumpa di lain kesempatan ^^.

Senin, 18 April 2011

Asap Dupa Dalam Lingkungan Keraton Riwayat Tan Djing Sing Dalam Kraton Ngayogyakarta Hardiningrat

Abstrak

Selama ini kita selalu menganggap orang-orang Tionghoa tidak mempunyai kemauan untuk terjun dalam dunia politik. Hal ini cukup beralasan dimana kita tahu pada masa Belanda yang berkuasa, mereka akan mengabdi kepada Belanda. Sedangkan pada zaman Jepang yang menjadi tuan, mereka akan mengabdi kepada Indonesia. Ketidak loyalan mereka terhadap sebuah organisasi atau patron membuat banyak orang meregukan loyalitas mereka. Padahal kita harus mengerti bagaimana mereka terpaksa dibuat menjadi komunitas perantara diantara dua komunitas besar (Kolonian/Belanda dan Pribumi) yang teentunya mereka akan member loyalitas mereka kepada siapa yang dapat menjamin keamanan mereka. Hal inilah yang menyebabkan rang Tionghoa bagai memakan buah simalakama, dimana bila mereka ikut politik disangka membela pihak tertentu, bila mereka menolak ikut politik disangka kaum yang hanya berkutat pada masalah perdagangan saja, dan bila mereka ikut gerakan politik, disangka mereka ingin menjilat demi keamanan kedudukan. Padahal, kita tahu kalau sejak kerajaan sampai reformasi (kecuali Orde Baru) masih kita dapati beberapa orang Tionghoa yang ikut aktif dalam gerakan-gerakan politik pada masa tersebut. Contohnya seperti Tan Djing Sing, seorang pribumi pertama yang mendapat posisi strategis dalam keraton Ngayogyakarto Hardiningrat.

Pendahuluan

Tionghoa merupakan sebutan lain dari suku bangsa Cina yang ada di Indonesia. Nama ini mereka ambil dari dialek Hokkien dari kata [中華], yang berarti Bangsa Tengah; dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua[1]. Mengapa mereka mengambil kata ini? Karena kata tersebut digunakan untuk mengganti kata “Cina” yang mengandung konotasi negatif yang selama ini dipakai untuk menamai suku bangsa mereka. Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Cina dengan mendirikan Republik Cina (中華民國, Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Cina ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Cina (中華人民共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.[2]

Kedatangan bangsa Tionghoa di Indonesia sampai saat ini masih simpang siur. Dalam sebuah tulisan tercatat bahwa orang-orang Tionghoa telah hadir pada masa Dinasti Han atau sekitar tahun 131 SM[3]. Disebutkan pula dari sumber lain pada masa Kerajaan Airlangga, telah terdapat pemukiman orang-orang TIonghoa di sekitarTuban, Gresik, Jepara, Lasem dan Banten. Pada masa ini komunitas orang-orang Tionghoa diterima baik oleh penduduk pribumi[4]. Ternyata, walaupun mereka sama-sama bermata sipit, berkulit kuning dan makan dengan menggunakan sumpit, orang-orang Tionghoa juga terdapat berbagai macam suku bangsa. Umumnya terdapat beberapa suku yang ikut bermigrasi ke daerah luar (Taiwan, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Myanmar, Brunei, kamboja, Indonesia, dll). Mereka diantaranya yang banyak dating ke Jawa adalah Hokkian, Hakka, Tio Ciu, KwangFu (Cantonis), Hokjia, Henghua, Hainan, dan lainnya[5].

Umumnya mereka datang sendiri-sendiri. Tetapi, karena makin seringnya pergulatan pilitik di dataran Cina, dan timbulnya keinginan melihat daerah luar sambil memperbaiki kehidupan mereka, timbulah niat untuk merantau. Awalnya mereka dating sendiri-sendiri dengan bekal seadanya (bahkan ada yang hanya berbekal baju di tubuh). Awalnya yang pergi merantau adalah kaum laki-laki. Saat di negeri rantau, mereka bekerja sebagai buruh tamang, buruh tani, pedagang perantara, dan lainnya. Karena mereka dating seorang diri, mereka pun menikahi perempuan pribumi. Hasil perkawinan mereka inilah yang nantinya akan disebut kaum “peranakan”. Setelah sekian lama akhirnya kaum perempuan pun ikut serta dalam merantau, tercatat mereka mulai merantau pada akhir abad ke XIX dan awal abad ke XX[6]. Mereka biasanya ikut serta dengan suaminya atau dengan keluarga besarnya, atau bisa juga dating sendiri. Saat sampai di tanah rantau, mereka (baik laki-laki dan perempuan yang datang bersama keluarga) disebut sebagai “totok”. Mereka yang disebut totok biasanya masih merupakan keturunan pertama sebelum orang tuanya menikah dengan penduduk pribumi. Masih menjalankan adat istiadat dari daerah asal mereka, dan masih menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa sehari-hari.

Menetap di Nusantara

Keinginan yang kuat untuk pergi dan merantau serta memperbaiki kehidupan membuat banyak orang-orang Tionghoa yang berimigrasi ke daerah lain. Mereka rela menyebrangi lautan demi mendapat kehidupan yang layak, keinginan melihat daerah luar, dan tertarik akan cerita orang luar tentang negeri di luar Cina. Hal ini bisa dimaklumi karena pada masa Dinasti Tang, kota-kota pesisirtenggara Cina menjadi kota pelabuhan yang ramai[7]. Karena itulah mereka mulai merantau ke daerah Indo-cina (Vietnam, Kamboja, Myanmar), Thailand, Indonesia, Malaysia, Brunei, Vietnam, dll.

Sampai di daerah perantauan, nasib tidak membawa mereka langsung menjadi orang sukses. Banyak yang dating sampai ke Indoesia hanya berbekal seadanya bahkan hanya baju yang melekat di tubuh. Kedatangan mereka pada awalnya hanya menjadi buruh tambang (seperti di Bangka, Martapura, dll), petani, pedagang perantara, dan lain-lain. Karena ketekunan dan kerja keras mereka untuk memperbaiki hidup membuat mereka mampu bertahan dan menjadi sukses. Hal ini tentu saja tidak dapat diabaikan dari kehidupan keras di daerah asal mereka yang telah mendidik mental serta kepribadian mereka.

Dari berbagai suku bangsa Tionghoa yang merantau ke Indonesia, kita bisa melihat bagaimana kepribadian mereka dan wilayah persebaran mereka.

Tabel

Suku Bangsa Tionghoa dan Persebarannya di Indonesia

Suku Bangsa

Asal

Kepribadian dan Ciri Umum

Wilayah Penyebaran

Hokkian

Provinsi Fukien bagian selatan, merupakan daerah penting dalam perdagangan

Umumnya mempunyai sifat ulet dan rajin apalagi dalam hal berdagang, sehingga mereka memegang sebagian perdagangan di Indonesia

Sumatera Utara, Riau ( Pekanbaru Selat panjang, Bagansiapiapi,danBengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin,Kutai,Sumbawa, Manggarai,Kupang,Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.

Hakka/Khe

Provinsi Shanxi, wilayah Kwangtung bagian selatan

Orang Hakka adalah yang paling miskin diantara perantau tionghoa lainnya.

Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa,Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.

Kwong Fu/ Kanton

Provinsi Provinsi Shanxi, wilayah Kwangtung bagian barat

Mereka pandai membuat makanan, terutama yang mengandung unsur daging. Selain itu mereka ahli dalam bidang kerajinan kayu dan juru gambar atau juru foto.

Sama seperti Hakka

Tio Ciu

Pantai selatan Cina, daerah pedalaman Swatow, bagian timur provinsi Kwangtung

Orang-orang Tio Ciu pandai bertani dan memasak makanan. Pada zaman Belanda mereka diberdayakan sebagai kuli tambang dan pekerja pertanian di luar Jawa.

Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).

Hok Jia

Sama seperti Hakka

Mereka bermata pencaharian sebagai pedagang sepeda dan suku cadangnya

Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).

Waijiang

Di wilayah sekitar Fukien

Mereka adalah suku minoritas, pekerjaan mereka biasanya adalah penjahit tukang percetakan, dan pengrajin kulit.

Sepertinya mereka tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Suku Hainan

Tinggal di pulau Hainan yang dekat dengan Zhanjiang

Sepertinya sama dengan suku yang lain, dimana mereka berbakat menjadi pedagang atau pengusaha.

Pekanbaru, Batam, dan Manado

Sumber: Diktet kuliah Cina Perantauan di Indonesia karangan Chandra Halim bab III halaman 1-2 dan http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tionghoa-Indonesia

Namun, pada masa modern seperti sekarang ini, orang-orang Tionghoa yang awalnya menolak perkawinanantar suku menjadi memperbolehkan diadakannya perkawinan antar suku. Selain itu, tiap-tiap suku yang pada awalnya mempunyai peraturan keras mengenai hubungan antar suku sekarang mulai menipis karena factor-faktor ekonomi. Hal ini bisa terjadi seperti suku Hakka yang pada awalnya merupakan suku paling miskin ternyata beberapa anggotanya bisa menjadi seorang terpandang di lingkungannya. Contohnya bisa kita lihat bagaimana Tjong A Fie, seorang bankir, pengusaha, dan kapitan yang berhasil membangun bisnis dengan 10.000 anak buah dimana kerajaan bisnisnya tidak saja menyangkut bank dan perkebunan, tapi juga pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, pertambangan dan perusahaan kereta api[8]. Dimana dia selalu menyisihkan 5 persen dari kekayaannya untuk pegawainya dan bahkan saat dia meninggalpun dirinya masih menuliskan wasiat supaya harta kekayaannya digunakan untuk membiayai masyarakat yang membutuhkan. Dan hebatnya lagi, dirinya bahkan menyumbang pembangunan tempat ibadah seperti Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok serta ikut merayakan hari-hari besar keagamaan bersama mereka

Peranakan dan Hubungan Sosialnya Dengan Pribumi

Setelah etnis Tionghoa berhasil melakukan akulturasi dan asimilasi budaya dengan penduduk lokal, kita bisa memastikan kalau keturunan mereka sudah dapat dikatakan “peranakan”. Pengertian peranakan tadi bisa kita lihat pada bagian atas tadi dimana yang disebut peranakan adalah keturunan pertama atau kedua pribumi dimana si ayah telah melakukan pernikahan dengan penduduk pribumi.

Percaya atau tidak, hubungan antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi sudah berjalan dengan sangat baik dan dapat hidup berdampngan dengan harmonis. Contohnya pada awal abad XIX Abdullah al-Misri (penulis Arab asal Mesir) menulis kalau orang Jawa bangga mempunyai menantu seorang Tionghoa[9].

Belum lagi keuletan dan kejujuran mereka mampu membawa orang-orang Pribumi untuk mempercayai mereka dalam hal perdagangan dan lainnya. Contohnya seperti Tjong A Fie diatas. Tak jarang, selain dalam hubungan perdagangan, hubungan politik pun dapat dengan mudah didapat antara seorang Tionghoa dengan penguasa daerah. Sebut saja bagaimana Tjong A Fie mampu menarik hati Sultan Deli, Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Muda, dan para pembesar Belanda lainnya sehingga dirinya mampu dikenal oleh kalangan luas dan diangkat menjadi pemimpin orang-orang Tionghoa di sana, mulai dari pangkat Letnan Tionghoa, sampai menjadi Kapitan[10]. Atau kita bisa melihat bagaimana Yap Thiam Hien, seorang pejuang HAM dari Indonesia yang mengkritik pergantian nama orang-orang Tionghoa pada masa Orde Baru dimana mereka orang-orang Tionghoa dipaksa mengganti nama mereka untuk membuktikan kecintaan mereka kepada republic ini[11]

Selain itu, kita bisa melihat bagaimana Tan Djing Sing, seorang tokoh Tionghoa yang namanya begitu harum di Yogyakarta karena dialah seorang Tionghoa yang pertama kali menjadi bagian dari kraton Ngayogyakarta Hardiningrat dengan nama K. R. T. Setjadiningrat.

Tan Djing Sing Atau K. R. T. Setjadiningrat?

Pada tahun 1800an, keadaan politik di Jawa sangat tegang, karena pada masa inilah Kekuatan Inggris dan Belanda mulai unjuk gigi di Nusantara. Banyak sekali perlawanan menentang kolonialisme dan penjajahan. Inggris pun mulai mengadakan kunjungan-kunjungan ke Jawa. Belanda yang mulai menghadapi perlawanan antara pihak Nusantara juga masih harus melawan Belgia yang ingin memisahkan diri. Belum lagi Perang Jawa (Java Oorlog) yang mampu membuat kas keuangan Belanda menipis.

Di dalam Keraton sendiri juga banyak terdapat intrik istana yang bertujuan untuk menggulingkan suatu pemerintahan raja. Contohnya dalam pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II, terjadi perselisihan siapakah yang berhak menjadi raja, setelah orang-orang tidak puas dengan pengangkatan itu. Masih banyak yang menginginkan putra mahkota (Sultan Raja) menjadi Sultan di Jawa. Inggris melihat hal ini sebagai kesempatan untuk menggulingkan pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan anaknya Sultan Raja yang sebent lagi akan memimpin kerajaaan ini.Tan Jing Sing memihak Sultan Raja. Bahkan Tan Jing Sing juga menyumbangkan dana, amunisi, candu, tempat berteduh dan makanan dalam juml;ah yang agak banyak demi kelancaran gerakan itu,

Selain itu, Inggris juga ikut membantu dengan mengirimkan tentara mereka (kebanyakan merupakan orang-orang India yang biasa disebut tentara Gurkha atau Sepoy) untuk ikut ambil bagian dalam menyerang kekuasaan raja. Maka, meletuslah peristiwa yang dikenal oleh rakyat Yogyakarta sebagai “Geger Sepehi”[12]. Akhirnya, gerakan penggulingan Sri Sultan Hamengku Buwono II berhasil dilakukan. Putra mahkotanya yang bernama Sultan Raja berhasil menaiki takhta dan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono III. Sebagai rasa terimakasih, pihak ibu suri dari Hamengku Buwono III menyerahkannya jabatan sebagai bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Setjadiningrat dan mendapat tanah warisan sebanyak 1000 cacah[13].

Penutup

Akhirnya, kita harus mengakui kalau orang-orang Tionghoa ternyata pernah menjadi seorang abdi dalem dalam sebuah kerajaan yang akan memainkan peran besar dalam terbentukny republic ini di tahu 1800an. Diawali oleh Tan Djing Sing, orang-orang Tionghoa mempunyai suatu kebanggaan dimana mereka mempunyai seorang tokoh yang mampu menjadi pemimpin mereka, bahkan mampu membawa seseorang menuju tampuk kekuasaan.

Dari pengalaman ini terbuktilah bagaimana seorang Tionghoa ternyata mampu menjadi seorang pegawai kerajaan dengan posisi yang tidak main-main, sebagai seorang bupati dan sebagai seorang perantara antara pihak keraton dengan pihak asing (Inggris dan Belanda). Hendaklah dalam pengalaman ini kita belajar kalau merekapun juga mempunyai kemampuan yang sama dalam memimpin sebuah institusi seperti halnya dengan kita.

Disusun oleh:

Nama: Rechardus Deaz Prabowo

NIM: 094314002

Prodi: Ilmu Sejarah



[1] Tionghoa, Wikipedia, diakses pada tanggal 18 Oktober 2010, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa,

[2] Idem.

[3] Chandra Halim, Diktat Kuliah “Sejarah Tionghoa Perantauan di Indonesia”, Yogyakarta, Bagian I hal. 1

[4] Benny G. Setiono,Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, Elkasa, hal. 14

[5] Chandra Halim, Diktat Kuliah “Sejarah Tionghoa Perantauan di Indonesia”, Yogyakarta, Bagian III hal. 1

[6] Benny G. Setiono,Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, Elkasa, hal. 45

[7]Tionghoa Indonesia, Wikipedia, diakses pada tanggal 18 Oktober 2010, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tionghoa#Peran_Warga_Tionghoa_Bagi_Republik_Indonesia

[8] Tjong A Fie, Wikipedia, diakses pada tanggal 18 Oktober 2010, http://id.wikipedia.org/wiki/Tjong_A_Fie

[9] Didi Kwartanada, tertulis dalam makalahnya yang berjudul “Beberapa Catatan Mengenai Penelitian Etnis Tionghoa Abad XIX-XX”, yang dibawakan saat seminar sejarah 2010 di UGM hari Jum’at, 30 April 2010.

[10] Tjong A Fie, Wikipedia, dikutip pada tanggal 18 Oktober 2010, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tjong_A_Fie

[11] Yap Thiam Hien, Wikipedia, dikutip pada tanggal 18 Oktober 2010, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Yap_Thiam_Hien

[12] Lurahing Pacino, Sutirman Eka Ardhana (SEA), diakses pada tanggal 19 Oktober 2010, http://ekardhana.blogspot.com/2010/02/lurahing-pacino.html

[13] Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, Jakarta, Komunitas Bambu, 2008, hal. 60.

Minggu, 26 Desember 2010

H. M. MISBACH HAJI MERAH DARI SOLO


“Jangan takut, takutlah akan Allah karena tidak ada yang berarti kecuali perintah Allah, dan jadilah manusia, jangan kehilangan kemanusiaan”-H. M. Misbach, Medan Moeslimin

Namanya hampir tidak dikenal dalam buku sejarah (apalai buku pelajaran sejarah) Indonesia karena presiden kedua kita cukup takut dengan bayaing-bayang ideologi ”kiri” yang bisa mengancam kedudukannya selama 32 tahun memerintah. Sosoknya yang khas pada masa itu (berpakaian khas Jawa dan tetap memakai blangkon meskipun sebagai seorang yang bergelar Haji) serta kritikan tajam dengan ideology “kiri” yang dipropagandakannya disetiap rapat besar partai untuk memutus rantai kolonialisme dan kapitalisme dalam setiap artikel yang ditulisnya mampu membuat pemerintah koloial Belanda kebakaran jenggot sampai akhirnya Belanda membuangnya ke Manokwari dan meninggal akibat malaria.

Ia adalah H. M. Misbach, seorang haji revolusioner dari Solo yang banyak menulis artikel tentang Islam-Komunis di surat kabar yang dipimpinnya, Medan Moeslimin. Salah satu ucapannya yang melegenda, “Orang yang mengaku dirinya Islam, tetapi tidak setuju adanya komunisme, saya berani mengatakan ia bukan Islam yang sejati” membuktikan bagaimana agama dan komunisme dapat disatukan dan bisa menjadi kekuatan untuk melawan penindasan.

Terlahir dalam keluarga pedagang batik yang sukses dan hidup dalam lingkungan pejabat keagamaan Keraton pada tahun 1876 di Kauman, Surakarta serta sempat menggeluti bidang usaha batik (bahkan sampai sukses) tidak membuat terseret dalam kutub kelas menengah dan mematikan semangat revolusionernya.. Hal ini dibuktikan dengan ditinggalkannya usaha batik yang sedang sukses-suksesnya demi menggeluti dunia intelektual dan semangat revolusionernya. Pilihannya jatuh pada Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo tahun 1914 dan kemudian Sarekat Islam. Dalam perjumpaannya dengan H. M. Misbach, Mas Marco Kartodikromo sangat terkesan dengan sikap dan pembawaannya, seperti yang tertulis dalam tulisannya yang berjudul Korban Pergerakan Rajat: H. M. Misbach:

Di pemandangan Misbach, tidak ada beda diantara seorang pentjoeri biasa dengan seorang jang dikata berpangkat, begitoe djoega diantara rebana dan klenengan, diantara bok hadji yang bertoetoep moeka dan orang perempoean jang mendjadi koepe malem; diantara orang-orang jang bersorban tjara Arab dan berkain kepala tjara dijawa. Dari sebab itoe dia lebih gemar memakai kain kepala dari pada memakai petjis Toerki ataoe bersorban seperti pakaian kebanjakan orang jang diseboet “Hadji”……Dari sebab itoe dimana-mana golongan rajat, Misbach mempoenyai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannja orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingken mengoempoelkan harta benda dari pada menoeloeng kesoesahan rajat, Misbach seperti harimau di dalem kalangannja binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menjela kelakoeannja orang-orang jang sama mengakoe Islam, tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama (Kartodikromo, 1924:6).

Dari cuplikan kalimat Mas Marco diatas bisa kita tebak bagaimana H. M. Misbach bukanlah seorang yang mengaku dirinya muslim tapi menghisap darah dari sesamanya, tetapi dia adalah seorang muslim yang taat akan perintah agama dan tidak menafsirkan setiap ayat dari Al-Qur’an demi kepentingan dirinya sendiri. Dari surat kabar bentukannya yang bernama Medan Mueslimin (1915) dan surat kabar yang dipeloporinya Islam Bergerak (1917), mampu menjadi salah satu corong utama utama yang menentang tindak kolonialisme Belanda. Dan pada tahun 1918-1920 H. M. Misbach menjadi tokoh pergerakan Insulinde yang berpengaruh.

Pada tahun 1920-an, bersama dengan kaum tani di Klaten, mereka mengadakan demo pemogokan-pemogokan di wilayah Klaten. Pemogokan terbesar terjadi di Ngelungge, dank arena keterlibatanya Belanda menahan dann menyeretnya ke pengadilan. Setelah bebas dari penjara Pekalongan pada tanggal 22 Agustus 1922. Bertepatan dengan keluarnya dari penjara, berakhir juga zaman pemogokan, serta dimulainya zaman pergerakan melalui partai, Pada saat itu, dia keluar dari Muhammadiyah karena dirinya menilai Muhammadiyah tidak terlibat dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Hal ini juga dipengaruhi oleh pertentangan antara H. O. S. Tjokroaminoto dengan dirinya tentang pengertian Kapitalisme.

Tjokroaminoto menganggap kalau kapitalisme yang harus dilawan adalah kapitalisme jahat yang merupakan kaum Belanda dan pedagang non-muslim, sedangkan kapitalisme baik adalah para pedagang Islam yang notabenenya merupakan anggota Serikat Islam (SI), selain itu Tjokroaminoto lebih mewakili golongan elite pedagang muslim pribumi (yang kita tahu merupakan golongan menengah pada masa itu).

Hal ini jelas tidak dapat diterima oleh Semaoen dan H. M. Misbach yang menganggap Kapitalisme tidak ada baik atau jahat, karena Kapitalisme merupakan system yang hanya meraup keuntungan sebanyak mungkin sehingga menimbulkan adanya sentralisasi ekonomi, dan dari sentralisasi ini dapat terwujud imperialism yang akhirnya mendorong Negara (atau pedagang) untuk menguasai daerah-daerah yang kaya akan bahan baku dan memasarkan barang buatan mereka, sedangkan keuntungan dari penjualan tersebut tidak seluruhnya dibagikan kepada para pekerja. Akibat dari Kapitalisme sendiri sungguh mengerikan. Perampokan, korupsi, pembunuhan, dan (bahkan) pelacuran bias terjadi dimana-mana karena sempitnya lapangan pekerjaan sehingga masyarakat harus melakukan apa saja demi mengisi perut mereka.

Keluar dari Muammadiyah membuat dirinya memilih Serikat Islam Merah (SI Merah yang nantinya menjadi cikal bakal PKI). Disana dia menjada seorang ahli propaganda yang tangguh dan berpengaruh. Dipilihnya SI Merah dikarenakan kritiknya terhadap anggota dan pimpinan Serikat Islam Putih (SI Putih) yang menggunakan Islam sebagai alat untuk memperkaya dirinya sendiri (seperti dalam artikelnya yang berjudul Moekmin dan Moenafik” dalam Islam Bergerak , 10 November 1922) juga dirinya berpendapat kalau organisasi-organisasi Islam pada masa itu tidak dapat membawa aspirasi dan membawa keadilan bagi rakyat jelata.

Selain itu, dalam tulisannya “Islam dan Komoenisme, edisi XI Medan Moeslimin dirinya menulis tentang bagaimana kepedulian Karl Marx terhadap kaum miskin:

Waktoe toewan Karl Marx memegang pimpinan Journalis, beliaoe memerhatikan betoel-betoel akan nasibnya ra’jat, beliaoe ketarik sekali pada adanja soeal-soeal tentang Economic dan doedoekanja kaoem miskin; dari itoe toewan Karl Marx dapat tahoe dengan terang pokok ataoe soember-soember jang menimboelkan kekaloetan doenia. Sebab ataoe soember kekaloetan itoe, yaitoe doenia kemiskinan disebabkan adanja kapitalisme djalan ilmoe mentjahari kahoetoengan bersama hanja menjadi milikja (kepoeanjaannja) sedikit orang. (Misbach,1925:4)

Menurut Misbach, kemiskinan iu disebabkan adanya penghisapan oleh kapitalisme. Mesin penggerak kapitalisme-atau “spirit kapital” dalam istilah Misbach-adalah ketamakan. Dizaman kapitalisme, ketamakan ini, spirit kapital, berbentuk uan, Kapitalisme menggunakan berbagai “soelapanja” untuk “mengikat” orang. Akan tetapi, kuncinya adalah uang karena kebanyakan orang “tjinta boeta” dengan uang dan kemudian “moeka jang diboetakan oleh mata oewang”. Dari uang muncul godaan dan ketamakan akan uang yang dapat menghancurkan manusia. (Nor Hiqmah,2008:39). Dan dari dua alas an diatas, Misbach menganggap PKI dapat menjadi lokomotif perjuangan kaum rakyat jelata.

Julukan Muslim-Komunis pun melekat pada dirinya. Dalam setiap pidato yang dibawakan oleh dirinya, dikritiknya kaum elite dagang Islam yang menutup mata terhadap kesusahan rakyat pribumi yang masih saudaranya, ditentangnya para kaum penumpuk modal yang membuat kondisi social ekonomi rakyat jelata begitu mengerikan, serta bersama Semaoen, mereka tanpa takut menghardik setan-setan Kapitalis dan Kolonialis (Belanda-red). Tak ayal, partai ini menjadi semakin besar sehingga memaksa Algemeene Recherchedienst (Dubas Intelejen Umum) dibawah pimpinan Gubernur Jendral Dirk Fock mengirim banyak intel disetiap rapat besar partai atau pidato-pidato yang dibawakan mereka.

Sayag, pergerakan Misbach sebagai seorang tokoh kunci PKI harus berakhir. Tanggal 20 Oktober 1923, H. M. Misbach ditahan karena dituduh sebagai dalang dari penyebaran pamphlet bergambar palu arit dan tengkorak, perusakan, pembalikan kereta api, pembakaran bangsal sekatenan, dan pengeboman di Mangkunegaran. Penguasa Belanda terlalu bebal sehingga menganggap dalang dari kegiatan ini adalah ulah dari Misbach sendiri.

Dari hasil penyelidikan, barulah diketahui kalau dari semua aksi tersebut adalah Hardjosumarto yang juga membiayai para saksi palsu untuk memberatkan posisi Misbach di mata hukum. Padahal, Hardjosumarto tak lain dan tak bukan adalah orang yang “ditangkap” bersama Misbach. Meskipun begitu, Pemerintah Kolonial tetap memaksa penahanan agar Misbach dapat dibungkam dengan cara mengasingkannya di tanah yang asing dan jauh dari kontak manusia, Manokwari, Papua. Selama pengasingan sementara di Semarang, Misbach tidak diperbolehkan dijenguk oleh siapapun dan hanya diperbolehkan membaca Al-Qur’an. Dalam pengasingan ini dia bertahan dan sikap revolusionernya tidak mampu ditundukkan oleh Belanda sekalipun. Akhirnya hari pembuangan itu tiba, Di rimba Manokwari dia diasingkan bersama istri dan tiga orang anaknya.

Di Manokwari pun dirinya masih bisa berkarya. Tercatat ada 7 artikel yang dia tulis selama pengasingan, diantaranya”Djawa-Manokwari Baik di Ketahui” (Medan Moeslimin 331-332 ,10/1924), “Hal Yang Kejadian di Manokwari” (Medan Moeslimin 333, 9 1924), “Islam dan Kommoenisme”(Medan Moeslimin 3-7, 34-35, 50-53, 69-71, 81-83, 2/1925), “Manokwari Bergontjang, Reactie Oentoek Communist Tentoe dan Soedah Bijasa” (Medan Moeslimin 156-159, 2/1925), “Soerat Terboeka” (Medan Moeslimin 256, 2/1925), “Foja-foja: Sikapnja Wakil Pemerintah Manokwari” (Medan Moeslimin 271-272, 2/1925), serta “Nasehat” (Medan Moeslimin 145-148, 12/1926).

Namun, di tempat pembuangan Istri tercintanya, meninggal dunia akibat malaria. Sebelum Istrinya meninggal, H. M. Misbah sempat meminta kepada Belanda agar tempat pembuangannya dipindah ke Eropa. Usulan tersebut diterima oleh Parlemen Belanda dengan syarat dirinya mau membiayai perjalanannya sendiri. Setelah mendapat kabar tersebut, langsung dia meminta tolong kepada Haroen Rasjid, redaktur Medan Moeslimin untuk mencarikannya dana sebagai bekal perjalanan.

Sayang Tuhan berkehendak lain, belum sempat melaksanakan tujuannya, dirinya harus takluk dengan penyakit yang juga telah menaklukan istrinya. Malaria. Akhirnya dia pergi untuk selamanya pada tanggal 24 Mei 1924 dengan meninggalkan tiga anaknya yang masih kecil-kecil, Masdoeki, Karoebet, dan Soimatoen. Mereka bertiga kembali ke Solo tanggal 26 Juni1924 dalam keadaan yatim piatu.

H. M. Misbach merupakan seorang muslim sejati yang tidak hanya melaksanakan perintah Tuhan seperti yang tertera di Al-Quran, tapi juga mampu menyatukan ideologi Komunisme dengan agama, sesuatu yang (mungkin) tidak akan terjadi di zaman sekarang. Pengasingan di rimba yang berbahaya tak mampu menyurutkan semangat revolusioner dan bahkan dirinya masih bias menulis kritikan tajam dan nasehat bagi para pengikutnya untuk terus melawan kapitalis dan kolonialis Belanda serta kaum Munafik yang mengku dirinya muslim tapi tidak mau membantu rakyat yang kesusahan..

Sumber Utama dan gambar:

  1. Hiqmah, Nor. H. M. MISBACH KISAH HAJI MERAH: Komunitas Bambu, 2008
  2. Soedjono, Imam. Yang Berlawan; Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI: Resist Book, 2006
  3. Haji Misbach: Muslim Komunis, www.indomarxis.net, 3 Februari 2004
Artikel ini diterbitkan dalam koran kampus mahasiswa Univ. Sanata Dharma, NHN (Natas Hot News) edisi Mahasiswa Baru.